Rabu, 21 Desember 2011

Teori Belajar Behavioristik


Zidan El-QyZee
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk :
  1. Mengetahui implikasi teori behaviorisme
  2. Untuk mengetahui penerapan dalam teori behaviorisme
  3. Untuk mengetahui tujuan pembelajaran teori behaviorisme
  4. Untuk mengetahui teori – teori yang mendukung teori behaviorisme
1.3 Manfaat
Adapaun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu kita dapat mengetahui implikasi pembelajaran dari teori behaviorisme, untuk mengetahui penerapan dalam teori behaviorisme, dan untuk mempermudah kita dalam mengetahui pembelajaran serta teori – teori yang mendukung teori behaviorisme tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Behaviorisme
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Prinsip-prinsip teori behaviorisme
o Obyek psikologi adalah tingkah laku
o semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek
o mementingkan pembentukan kebiasaan
Ciri-ciri Teori Belajar Behavioristik
Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni
1. mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
2. mementingkan bagian-bagian (elentaristis)
3. mementingkan peranan reaksi (respon)
4. mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
5. mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
6. mementingkan pembentukan kebiasaan.
7. ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal’ atau trial and error.
2.2 Aplikasi dalam Pembelajaran Behaviorisme
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
2.3 Implikasi Teori Belajar Behaviorisme
Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional, terlebih lagi pada jenjang pendidikan usia dewasa. Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimentasi bihavioristik cenderung mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan manusia yang dilahirkan. Bahkan bihaviorisme cenderung menerapkan sistem pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia. Oleh karena itu behaviorisme cenderung antropomorfis skularistik.
2.4 Tujuan Pembelajaran Behaviorisme
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
2.5 Tokoh-Tokoh yang Mendukung Teori Behaviorisme
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
  1. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
  1. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
  1. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
  1. Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
  1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Teori pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.
Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
  1. Albert Bandura (1925-sekarang)
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Kaum behaviorisme tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambak atau obyek yang punya makna (pelaziman klasik).
Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan. Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi.
Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.
2.6 Peranan Guru dan Siswa dalam Teori Behaviorisme
Pendapat aliran behavioristik pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respon (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah dan atau rei nforcement(penguatan).
Model Pembelajaran Cooperative Learning STAD
Falsafah yang mendasari model pembelajaran Cooperative Learning Group adalah falsafah homo homini socius yang menekankan bahwa manusia sebagai mahluk sosial yang saling bekerja sama dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Begitu juga dengan mata diklat Perhitungan Statika Bangunan yang menerapkan Cooperative Learning STAD dalam model mengajarnya sebagian besar termasuk dalam aliran belajar humanistik dengan beberapa tambahan ciri dari aliran belajar yang lain, misalnya guru tetap mengarahkan dan membimbing siswa dalam belajar.
Model Cooperative Learning STAD menitikberatkan pada kerjasama dalam satu kelompok untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Ini tidak berbeda dengan belajar humanistik yaitu memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bahan pelajarannya dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya. Tentu saja kebebasan ini tidak keluar dari kerangka belajar.
Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Tiap-tiap individu ikut andil menyumbang pencapaian itu. Siswa yakin bahwa tujuan mereka akan tercapai jika dan hanya jika siswa lainnya juga mencapai tujuan tersebut. Pola pencapai tujuan dalam pembelajaran kooperatif ini dapat digambarkan seperti dua orang yang memikul balok. Balok akan dapat dipikul bersama-sama jika dan hanya jika kedua orang tersebut berhasil memikulnya. Demikian pula halnya dengan tujuan yang akan dicapai oleh suatu kelompok siswa tertentu.
Tujuan kelompok akan tercapai apabila semua anggota kelompok mencapai tujuannya secara bersama-sama. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut: (1) Siswa dalam kelompoknya harus merasakan bahwa mereka “sehidup semati”; (2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri; (3) Siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama; (4) Siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya; (5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok; (6) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya; (7) Siswa akan diminta mempertangungjawabkan secara individu materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Sementara itu, pembelajaran yang menggunakan model kooperatif pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; (2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda; (4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Efek penting yang pertama pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi totur bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Pelaksaanaan tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu. Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, maupun ketidak mampuan. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.
Efek penting yang ketiga dari model pembelajaran kooperatif ialah ketrampilan sosial, salah satunya mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di mana banyak aktivitas sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan di mana masyarakat secara budaya semakin beragam. Langkah-langkah utama di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif adalah pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Langkah ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap menyelesaikan tugas bersama mereka. Tahap terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberikan penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
Peningkatan belajar terjadi tidak bergantung pada usia siswa, mata pelajaran, atau aktivitas belajar. Tugas-tugas belajar yang kompleks seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pembelajaran konseptual meningkat secara nyata pada saat digunakan strategi-strategi kooperatif. Siswa lebih memiliki kemungkinan mengunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi selama dan setelah diskusi dalam kelompok kooperatif daripada mereka bekerja secara individual atau kompetitif. Jadi materi yang dipelajari siswa akan melekat untuk periode waktu yang lebih lama. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa alam “setting” kelas kooperatif, siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman yang lain diantara sesama siswa daripada belajar dari guru. Konsekuensinya, pengembangan komunikasi yang efektif seharusnya tidak ditinggalkan demi kesempatan belajar itu. Model pembelajaran kooperatif memanfaatkan kecenderungan siswa untuk berinteraksi.
Hasil lain penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk siswa yang rendah hasil belajarnya.

2.7 Aspek Penilaian dalam Pembelajaran

Penilaian merupakan terjemahan dari assessment yaitu kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian kompetensi dan kemajuan belajar mahasiswa (kelompok atau individu), dan mengefektifkan penggunaan informasi tersebut untuk mencapai tujuan pendidikan. Berbeda dengan penilaian, evaluation adalah kegiatan yang dirancang untuk mengukur efektivitas sistem pendidikan secara keseluruhan. Sebagian ahli mengatakan, evaluasi itu kegiatan penilaian yang bersifat luas, menyeluruh.
Dalam PPRI no. 19/2005 tentang Sisdiknas pasal 1 dinyatakan: Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. (lihat juga pasal 1 ayat 21 UURI no 20/2003).
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan bagian dari penilaian pendidikan secara keseluruhan. PBK lebih dekat konotasinya dengan assessment dari pada evaluation. Dalam sistem pembelajaran (perkuliahan), penilaian (PBK) menempati posisi yang sama pentingnya dengan perencanaan maupun kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, penilaian menjadi salah satu faktor dalam sistem pembelajaran. Hasil penilaian harus dapat dijadikan informasi yang reliable, valid dan accountable terhadap stakeholders. Berkaitan dengan hal ini, artikel ini ditulis dalam rangka membantu pembaca terutama dosen untuk memahami lebih jauh mengenai sistem penilaian khususnya sistem penilaian dalam konteks KBK.

Penilaian sebagai Subsistem KBK

Pemikiran Behaviorisme dalam psikologi telah sedemikian mengakar hingga merambah ke dunia pendidikan sejak abad 20 hingga abad 21 sekarang ini. Tes objektif sebagai teknik atau alat penilaian yang digunakan untuk mengukur hasil belajar mastery learning dan mastery testing, merupakan bukti nyata dari pengaruh pemikiran behavioristik. Dalam perkembangannya hingga sekarang tes standar (standardized testing) dikembangkan dari tes objektif yang behavioristik itu, bukan hanya di sekolah dan lembaga pendidikan melainkan telah menjadi bagian dari industri pendidikan.
Gagasan KBK (Competency-Based Curriculum, Competency-Based Learning) tak lain juga merupakan kebijakan yang dipengaruhi (disadari atau tak disadari) oleh pemikiran behavioritik. Tetapi, KBK (dikenal dengan Kurikulum 2004) ini telah menjadi kebijakan Pendidikan Nasional di era reformasi yang harus diterima. KBK merupakan salah satu hasil reformasi Pendidikan Nasional di sektor kurikulum. Ia lahir mengiringi kelahiran UURI no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam KBK penilaian merupakan salah satu subsistem. Menyusul pemberlakuan Sisdiknas dan KBK selanjutnya diterbitkan PPRI no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kebijakan nasiona ini, menuntut para praktisi pendidikan di tanah air untuk bekerja ekstra keras, serta menyikapinya secara positif, tanpa harus berpretensi negatif. Semua itu dimaksudkan untuk memajukan Pendidikan Nasional Indonesia dari ketertinggalan yang sedemikian jauh dibandingkan dengan negara-negara lain.

Penilaian Hasil Belajar dalam Perpektif KBK

Dalam perspektif KBK, penilaian hasil belajar peserta didik disebut dengan Penilaian Berbasis Kelas (PBK) yaitu, perangkat yang memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi / hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar mahasiswa. Disebut PBK karena penilaian ini dilaksanakan secara terpadu dengan KBM. Acuan penilaian PBK lebih cocok dengan penilaian acuan patokan (PAP) sesuai dengan prinsip mastery learning, daripada acuan penilaian norma (PAN).
Asesmen Alternatif: Penilaian Berorientasi Proses Sekaligus Hasil
PBK perlu mengembangkan asesmen alternatif sebagai upaya memperbaiki dan melengkapi tes standar, sehingga penilaian hasil belajar tidak hanya berhubungan dengan hasil akhir (end product) tetapi yang lebih penting ia merupakan bagian yang penting dalam proses pembelajaran. Atkin, Black, & Coffey yang adalah sebagai anggota Committee Classsroom Assessment and the National Science Education Standards, menjelaskan bahwa asesmen alternatif diharapkan akan memberi kontribusi yang berarti pada perbaikan proses pendidikan (perkuliahan) di dalam kelas. Asesmen alternatif tidak dimaksudkan sebagai pengganti tes baku ataupun tes buatan dosen. Asesmen alternatif diharapkan membantu kelemahan-kelemahan teknik tes seperti menginvasi mahasiswa, menimbulkan rasa cemas berlebihan, mengkategori mahasiswa secara berlebihan, menghukum mahasiswa yang kreatif, atau mendiskriminasi mahasiswa dari golongan minoritas. Kelemahan-kelemahan ini terjadi karena tes dirancang dan dilaksanakan sebagai kegiatan “rahasia” yang sama sekali tidak mengikutsertakan peserta didik. Tes dianggap sebagai kegiatan institusi atau kegiatan dosen yang menjadi hak penuh lembaga atau dosen yang berangkutan. Peserta didik dianggap sebagai objek dalam pelaksanaan tes. Asesmen alternatif juga dimaksudkan untuk membantu dosen dalam mengefektifkan proses pembelajaran atau perkuliahan.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi (tagihan) mahasiswa, dalam PBK dikembangkan teknik dan jenis penilaian yang disebut asesmen alternatif, yaitu:
1. pengumpulan kerja mahasiswa (portfolio)
2. hasil karya mahasiswa (product)
3. penugasan (project)
4. kinerja, unjuk kerja mahasiswa (performance)
Oleh Puckett & Black, keempat jenis penilaian itu (4P: portofolio, produk, proyek, dan performansi) disebut sebagai authentic assessment yang merupakan jenis atau strategi penilaian informal, sementara tes standar disebut sebagai penilaian formal. Wick (1987) dalam School-Based Evaluation mengatakan, asesmen otentik dapat dilakukan dengan metode observasi, simulasi, tugas, praktek, swalapor, dan sebagainya. Arends menjelaskan, asesmen otentik itu sebagai proses asesmen performansi siswa (mahasiswa) dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam situasi nyata. Sementara, McTighe menjelaskan asesmen otentik mencari dan mengumpulkan serta mensintesis informasi kemampuan siswa (mahasiswa) dalam memahami dan menerapkan pengetahuan serta keterampilan proses dalam situasi nyata. Ada yang mengatakan, bahwa asesmen otentik sebagai metode asesmen alternatif atau asesmen lembar kerja yang merupakan upaya untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk asesmen yang lebih bermakna. Dengan demikian, fokus asesmen menjadi bergeser, dari orientasi mendapatkan nilai melalui menjawab soal (orientasi hasil), ke aktivitas untuk menunjukkan apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan (orientasi proses dan hasil), dan ini merupakan pembekalan kecakapan hidup. Menurut, hemat saya, asesmen alternatif (asemen otentik) sejalan dengan Konstruktivisme dan Humanisme, daripada sekedar Behaviorisme.
Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan formal. Karena itu image yang selama ini berkembang, segalanya serba formal., termasuk sistem penilaiannya. Sehingga penilaian dengan teknik tes yang merupakan penilaian formal dianggap sebagai paling tepat. Menyadari akan hal ini, dalam PBK, kiranya masih dimungkinkan pula mengembangkan sistem penilaian formal yang berupa tes, sebagai variasi dari asesmen alternatif. Kebanyakan tes dilakukan secara tertulis, dalam PBK tes tertulis disebut dengan paper and pensil, apakah berupa menggambar, tes bentuk uraian atau objektif (harian, mid, atau akhir semester), kuis (pre test). Dapat juga tes bentuk lisan. Tetapi, perlu disadari, tes hanya menilai pengetahuan kinerja (knowledge of performance).
Yang perlu di pahami, apapun teknik dan jenis penilaian (asesmen) yang digunakan, penggunaannya tergantung pada sasaran yang hendak dinilai: kognitif, afektif, atau psikomotorik. Ketiga sasaran penilaian ini hendaknya dijangkau secara utuh dengan teknik penilaian yang sesuai. Kita harus berani mengembangkan sasaran penilaian yang lebih luas. Jangan hanya berkutat pada domain kognitif. Ingat! Banyak hasil penelitian menunjukkan: efektivitas pencapaian hasil kognitif terjadi sejalan dengan efektivitas pencapaian ranah afektif. Siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik (kognitif) pada umumnya juga memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap yang positif terhadap pelajaran (afektif). Sekitar 25 % varian hasil belajar kognitif disumbangkan oleh karakteristik afektif yang dimiliki individu siswa pada awal pembelajaran (Pan Samon, 2006, dan Benjamin S. Bloom, George F. Madaus & Thomas Hastings, 1981 dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Ibnu Hadjar: 2006; 4).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori behviorisme dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
3.2 Saran
Kami menyadri bawasannya penyusun dari makalah ini hanyalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya kami hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Negeri Gorontalo terutama mahasiswa Program Studi Geografi.

5 komentar: