Jumat, 02 November 2012

KEMANA FILSAFAT ILMU BPI? (Bimbingan Penyuluhan Islam)



KEMANA FILSAFAT ILMU BPI? (Bimbingan Penyuluhan Islam)
Judul ini terasa menggelitik jika kita kaitkan dengan kondisi riil jurusan BPI di berbagai sudut, asumsi ini sebenarnya tercipta oleh gambaran mahasiswa dan system jurusan BPI yang berkembang kini. Pada substansinya asumsi ini akan menggiring kita kepada sebuah pemahaman baru.
BPI kita ketahui sebagai sebuah jurusan berlabel praktis banyak berbeda dari segi pembelajaran ketimbang jurusan yang lain, jurusan BPI sendiri hanya focus pada segi praktisnya saja . Pikiran kita lalu digiring untuk mencoba barfantasi nakal “apa karena ini keilmuan BPI terkesan mandeg (berhenti)”?
Kita tentu tidak boleh lupa dalam sebuah bingkai ilmu harus mempunyai essensi filsafat yang mapan, dengan singkat kita dapat melihat pada 3 komponen Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga hal inilah yang seakan “tertinggal” untuk dipikirkan di jurusan.

Wilayah ini jangankan untuk diperdebatkan, disinggung saja tampaknya masih terhitung langka. Apa indikatornya? Yach, kita tidak mempunyai mata kuliah Filsafat Ilmu BPI hingga kini, bahkan Filsafat Ilmupun masih angan-angan, kita terseret untuk menggembangkan segi praktisnya. Lagi-lagi apa indikatornya? Kita hanya berhenti pada mata kuliah pengantar Filsafat, Filsafat Islam, dan Filsafat Dakwah serta asyik berkubang pada segi praktis.
Ekses dari hal ini tergambar jelas kepada bangunan BPI yang belum dirumuskan, kita masih belum bisa menyelesaikan “permasalahan intrernal” keilmuan BPI. Sebagai contoh mata kuliah yang harusnya ada di jurusan BPI, sebut saja Hadits BPI yang  menyentuh lini vital penyuluhan Islam. Dan juga  Tafsir BPI yang mengupas ayat-ayat  mengenai BPI.
Perdebatan panjang yang harusnya melahirkan sebuah efektifitas ilmu, akan tetapi masih berlari mengelilingi bundaran yang  tak  bisa menyentuh titik tengah bundaran tersebut.

PROBLEM FILOSOFIS ILMU
Dunia penelitian sebagai simbol epistemologi, mempunyai peran penting dalam naungan ilmu. Kita melihat dalam berbagai kritik, hal penting yang menjadi sasaran tembak adalah wilayah epistemologi. Contoh kritik Malik Badri kepada psikoanalisis. Alangkah bikjaknya BPI mempunyai standar khusus. Bukankah ketika kita memahami esensi sebuah metode kita akan menciptakan metode-metode baru, namun jka kita hanya mempelajari metode itu sendiri kita akan terjebak dengan metode tersebut.
Esensi dalam memahami substansi sebuah ilmu ialah manfaat agar kita tidak terjebak pada pedebatan panjang. Kejadiannya persis dalam segenap jurusan BPI dalam barbagai daerah, setiap saat setiap waktu tidak lain akan terus mengutak atik kurikulum. Namun hasilnya tidak memuaskan. Tentu puas disini bukan usaha dalam ijtihad ilmu, namun “terus lapar walau sudah makan berkali-kali”.
Dalam segi ontologis, BPI belum punya kematangan dalam mengenali badannya sendiri, berbagai mata ilmu masih terkesan comot sana comot sini. Ekses dari hal ini BPI belum PD untuk berkiprah lebih jauh menytakan dirinya. Serba tanggungkah? Kita bolehlah menginduk ke psikologi, namun suatu keniscayaankah bila filter Imu BPI kuat menandakan sisi ontologis yang begitu mapan.
Kaca mata aksiologis kini yang kita angkat, saya begitu heran kenapa jarang ada orang BPI ikut serta dalam kasus-kasus elit bangsa atau dunia, contohlah penyelesaian trauma di Aceh, penanganan stress di Sidoarjo dan konflik Poso serta korban-korban bencana lainnya. Kebanyakan sebagian dari kta masih bermain pada lahan RS, Lapas dan panti sosial. Namun apakah kita juga tidak bertanya, kenapa psikiater berbicara konseling secara fasih dan kenapa psikolog sering disebut konselor. Bukankah mereka orang-orang yang seharusnya tidak mengambil lahan BPI. Dalam kenyataannya tidak ada standar profesi dalam realitas. Sekarang pertanyaannya kita mampu atau tidak?

(Pizaro) editing by muhyidin

1 komentar: